Tuesday, July 5, 2011

0

menembus pekat

Posted in

 by: rahma nur hanifah & dewi hajar kunarso
KRIINNGG...KRIING..
Sebelah tangan seorang gadis berusaha menggapai jam weker yang mengusik ketenangannya dalam mimpi, perlahan ia membuka mata, lalu mematikan alarm yang sengaja di bunyikan sejam lebih awal dari hari biasanya. Sepasang mata yang belum sepenuhnya terbuka, melirik ke arah tanggal hari ini yang tertera di kalender gantung di samping tempat tidur, sembari tersenyum, dia beranjak dari tempat tidur dengan semangat 45.


Hari ini akan menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Dimana dia sudah berhasil melewati masa-masa tersulit, dan kini ia telah menyelesaikan kuliahnya. Setelah 2 tahun terakhir dia terjatuh dalam kegelapan, yang akhirnya dia bisa bangkit berkat tamparan seorang pemuda. Hari ini jadi hari bersejarah bagi para mahasiswa yang berhasil lulus dan menyandang gelar sarjana. Tidak hanya itu, hal yang membuatnya senang adalah akan hadirnya seseorang yang sangat ia cintai, orang berjasa yang telah mengembalikan semangat hidupnya.
Ingatannya melayang menembus lorong waktu, berujung pada sebuah kisah yang merubah hidupnya, memperbaiki masa depannya, menyadarkan dia tentang arti hidup sebenarnya. Sebuah kenangan yang tak pernah luput dari ingatannya. Senyumnya mengembang.
“malaikat itu bakal nyempurnain kebahagiaan gue hari ini..”
***
Teriknya matahari tidak dapat menghentikan langkah seorang gadis cantik berumur 20 tahun. Sejak 30 menit yang lalu ia tak hentinya mondar mandir di sekitar halte depan SMAN 123 Jakarta. Gadis berambut hitam lurus dengan wajah oriental itu terlihat sayu dan kurang sehat. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk di halte tersebut dan mengeluarkan ponsel dari saku jaket kulitnya.
Terdengar nada sambung sedetik setelah ia menekan beberapa nomor yg sudah sangat di hafalnya.
“lu dimana pong? Buruan gue uda gatahan!”
“haha bego lu, uda gue bilang cari aja cowok SMA yg tasnya item pake jaket merah”
“rese lu ah, di halte ini kaga ada anak SMA! Mau ngerjain gue lu ye? Balikin duit gue!” nadanya meninggi seiring dengan nyeri yg mulai menjalar di sekujur tubuhnya.
“ogah, gue ga peduli yg penting gue uda lakuin bagian gue, lu aja kaga pinter nyari”
Tut..
Percakapan itu berakhir, si gadis menggeram sambil memaki, entah apa yg keluar dari mulutnya. Tanpa sengaja matanya bertumpu pada seorang anak SMA dengan ciri-ciri yg disebutkan ipong, anak itu menyebrang tanah yang berlapis aspal dan berjalan ke arah halte. Seketika ia langsung menghampirinya.
“eh lo tadi dititipin sesuatu ga sama cowok yang pake jaket item?” Karin mencengkram pundaknya.
“oh pil haram itu ya?” nadanya datar. Sontak mata si gadis terbelalak kaget.
“gausah sotoy dah lu buruan kasih ke gue!”
“gue kira yang ngambil bakal cowok brandalan macem preman, taunya cewek cantik kayak lo, ga sayang apa sama tubuh lo yg ancur gara-gara pil itu?”
“brisik, siape lo brani ngatur hidup gue?  mana titipannya buruan!”
“uda gue buang noh di tong sampah, mungkin udah di angkut sama truk sampahnya.” Mata sayu itu kini mendelik garang.
“kampret lu, ambil!”
“ogah.” jawab si cowok datar sembari menaiki minibus yang telah berhenti di depannya.
“eh eh eh sialan ni bocah” gadis itu tak henti hentinya memaki cowok SMA yg super blagu itu. Dengan geram terpaksa ia kembali ke tempat kostnya dengan tangan hampa. Sudah 3 hari ini dia bolos kuliah hanya untuk mencicipi sebutir pil itu. Kini sekujur tubuhnya terasa nyeri, dia hanya bisa mengerang kesakitan di atas dipan.
Felicya Karina Putri Siregar, seorang mahasiswi semester 4 di fakultas kedokteran universitas indonesia. Siapa yang tidak bangga bisa menjadi salah satu mahasiswa universitas yang di impikan hampir seluruh pelajar di Nusantara? Jurusan kedokteran pula? Karin adalah satu dari mereka yg beruntung, selain dengan prestasinya yang menakjubkan, dia juga di dukung dengan keadaan keluarga yang sangat berkecukupan. Hidupnya sangat sempurna sebelum akirnya petaka itu datang. Petaka yang membawanya ke dalam kekejian dunia dan tenggelam ke dalam kesenangan yang semu.
Kedua orang tuanya tak pernah menghargai prestasinya, mereka sibuk memikirkan karirnya masing-masing. Keluarganya pun tak lagi menjadi harmonis. Papa mamanya selalu bertengkar hingga akhirnya bercerai. Kakak perempuannya meninggal akibat aborsi, jadilah mereka saling menyalahkan tanpa mencari solusi untuk lebih menjaga kedua anaknya yang masih hidup. Karin dan kakak laki-lakinya memilih tinggal di rumah kost-kost-an, dari pada harus tinggal bersama salah satu dari orang tuanya. Dan satu lagi yang mengejutkan gadis itu, yaitu fakta bahwa kakaknya sudah lama berkecimpung dalam dunia narkotika. Entah bagaimana nasibnya kini, ia tidak tahu. Kakaknya tidak pernah lagi memberi kabar atas keberadaannya.
Benar-benar keluarga yang hancur. Semenjak itu, Karin mulai stres. Dia tidak lagi memikirkan kelanjutan kuliahnya, kerjaannya sehari-hari hanya menghambur-hamburkan uang yang setiap bulan di kirim orang tuanya. Ia mengenal dunia malam dari pacar pertamanya, seorang yang 1 tahun lebih tuadarinya di kampus. Ketika mengenalnya itulah, hampir saja Karin terenggut kesuciannya. Dan kini laki-laki bejat itu berencana menikahi sahabatnya sendiri.
Karin tumbuh menjadi cewek yang super cuek dan susah bergaul. Ketika ada seorang pendatang baru di kostnya, mereka mulai bisa berteman orang itu –Lena. Lena sangat baik dan perhatian, membuat Karin nyaman menceritakan segenap masalahnya.
Namun suatu ketika saat Karin mengalami stres karena gagal lulus ujian, tak disangka Lena memberi satu pil penenang. Karin yg sudah tidak peduli dengan masa depannya menerima dan menelan pil itu dengan pasrah. Ternyata setelah pil berukuran lebih besar daripada biji jagung itu berhasil masuk ke dalam kerongkongannya, lena mengaku bahwa dia adalah pasien rehabilitasi yang lolos dalam aksi kaburnya. dan sejak itu pun Karin mulai merasakan efek nikotin dari narkoba. Kecanduan.
***
            Di seberang daerah sana...
“kak nanti aku ada ekskul, ga usah jemput deh aku bisa pulang sendiri sama temen” suara cempreng khas Tania memecah keheningan di meja makan keluarga Guntoro, seorang pengusaha yang hampir gulung tikar.
“hm ya” jawab laki-laki yang dipanggilnya kakak itu cuek.
Bersamaan dengan itu, pak Guntoro berdiri hendak meninggalkan meja makan.
“papa berangkat” ujarnya datar, tanpa ekspresi. Entah apa yang sedang asik berjubel di pikirkan beliau, sehingga suara tania hanya dianggap angin lalu –biasanya tania tak pernah luput dari perhatian beliau. Lalu bergegas menuju garasi dan menyalakan mesin mobil.
Penghuni meja makan tidak heran, memang belakangan ini pak Guntoro tampak stres dengan berbagai macam masalah yang sedang melanda bisnisnya. Bu Guntoro yang menyadari kebekuan di meja makan segera mencairkannya dengan menyuruh anak-anaknya lekas menghabiskan sarapan dan berangkat sekolah. Fendi dan Tania menyalami mama sebelum meninggalkan meja makan.
“berangkat dulu ya ma” ujar Tania dengan senyum
“iya hati-hati di jalan sayang”
Fendi bergegas keluar dan menyiapkan motor vixionnya, tatapannya kosong tanpa gairah.Tania memperhatikan tingkah laku abangnya yang sedikit aneh pagi ini.
“kak? Kok hidungnya berdarah?” ujarnya kaget saat melihat ada sesuatu cairan yang berwarna merah keluar dari hidung Fendi.
Fendi yang juga baru menyadarinya sontak menutupi hidung. “gapapa kok, bentar ya” ujarnya sambil berlari menuju kamar mandi. Ia kembali dengan wajah pucat menahan nyeri di kepala, ia berusaha menguatkan dirinya untuk tetap nampak baik-baik saja di depan adiknya.
“kakak sakit?”
“engga kok, paling cuma kecapekan gara-gara tanding basket kemaren, yuk berangkat” jawabnya sambil menyalakan mesin motor, Tania mengangguk dan ber-ooh menandakan dia percaya.
Pagi itu untuk kesekian kalinya sang penyakit menyapa. Penyakit yg sudah mendiami tubuhnya entah sejak kapan, yang jelas ia berkenalan dengan penyakit tersebut 3 bulan lalu lewat seorang dokter spesialis spesialis syaraf.  Fendi tidak pernah menyangka kanker otak ini menjadi teman di akhir hidupnya dan mempercepat kematiannya. Dokter bilang umurnya tidak lama lagi.
Sejak itu dia jadi pemurung. Ia benci, terpuruk  oleh kabar itu. Penyakit ini menghancurkan harapan dan cita-citanya untuk menjadi dokter. Bagaimana mungkin ia belajar untuk menyembuhkan orang lain sedangkan dia tidak tau bagaimana menyembuhkan penyakitnya? Dan kabar buruk lain yang ia dapat akhir-akhir ini datang dari bisnis ayahnya. Perusahaan ayahnya menjadi korban penipuan yang mengakibatkan hutang perusahaan naik drastis dengan pemasukan minim. Tak heran jika ayahnya terlihat lebih cuek dan sering murung, beberapa kendaraan pribadi pun di jual untuk mengurangi hutang tersebut. Termasuk motor ninja miliknya, namun karena mama tidak tega melihat anaknya akhirnya ia membelikan motor  yang tak sebagus motornya dulu.
Keluarga tersebut harus lebih menghemat pengeluarannya, apalagi Fendi yg kini duduk di bangku kelas 3 SMA sebentar lagi harus melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Begitu juga adiknya, Tania sekarang sudah kelas 6 SD, dia juga harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP. Oleh karena itu Fendi tidak mau mempersulit keadaan keluarganya dengan penyakit yang di deritanya. Ia menyimpan semuanya sendiri, periksa dengan uang tabungannya sendiri, bahkan ia giat mengirim karya tulis dan analisisnya ke media-media cetak untuk mendapat pemasukan tambahan. Penyakit itu membuat dirinya lebih mandiri menjalani hidup yang kadang tak adil.
***
Secara perlahan gerimis mulai menghiasi pemakaman Anggrek siang itu, tampak orang-orang yang mengenakan baju serba hitam mulai meninggalkan tanah merah yang baru saja di tutup dan di taburi macam bunga-bungaan dengan aroma yang khas. Hari ini, malaikat izrail telah membawa satu nyawa ke istananya. Terlihat seorang lelaki paruh baya menunduk memejamkan mata. Penyesalan akan kematian anaknya bagai sebuah tamparan telak. Dimana ia sudah gagal menjadi pemimpin keluarga, ia sama sekali tidak menyangka anaknya meninggal karena narkoba. Di sampingnya seorang ibu-ibu menangis sesenggukan seakan belum merelakan kepergian anaknya. Yah itulah kematian, tak terduga, menyakitkan.
Tak jauh dari situ seorang gadis berdiri dengan tatapan kosong, menunggu bapak ibu itu beranjak dari tempatnya berduka. Ia tak menyangka sahabatnya pergi begitu cepat. Perempuan yg ia kenal 20 bulan yg lalu, yg selalu mendengar curahan hatinya dan memberinya surga ketenangan atas masalah-masalah rumit yang di hadapinya akhir-akhir ini. Empat puluh lima menit berlalu, keluarga itu belum beranjak juga. Karin mulai ragu untuk menunggu lebih lama, ia bisa di curigai jika tetap berada di situ, lagi pula langit semakin gelap oleh awan mendung. Karin memutuskan untuk kembali ke kostnya.
Karin berjalan menyusuri jalanan yang sepi, hanya ada beberapa penjual yang terlihat masygul karena dagangannya yang tak kunjung habis. Langkahnya terasa hambar, seketika nyeri menyergap sendi-sendinya, ia berhenti sejenak. Melenyapkan rasa sakit itu dengan menarik nafas sedalam dalamnya, dan menghembuskan kembali seolah rasa sakit itu terbuang. Lalu ia melanjutkan langkahnya menuju halte terdekat.
Sudah 5 hari ia idak mengkonsumsi barang itu semenjak kematian sahabatnya, ia tidak bergairah sama sekali. Dan juga karena sebelumnya barang yang sudah di pesan pun di lenyapkan oleh seorang bocah SMA. Bayang-bayang kematian menghantuinya. Tapi ia mencoba tidak peduli, tubuhnya memerlukan nikotin untuk menghilangkan rasa sakit itu.
Tiba-tiba sebuah motor menghentikan laju langkahnya. Karin sempat terkejut, namun ia berhasil menjinakkannya. Kini gadis itu menatap tajam sang pengemudi motor dan satu penumpangnya.
“mau apa lagi kalian?”
Kedua pria itu tersenyum licik sedikit tertawa “ kita hanya memastikan keselamatan jaringan kami, kabar meninggalnya Lena sudah sampai ke telinga bos. Dan gue harap lo bisa tutup mulut” ujar si pengemudi tegas.
“gue bisa jamin kalian aman” ucap Karin sinis.
“haha anak pintar, nyantai dong, kita cuma mau ngingetin perjanjian kok, ga usah jutek gitu nape, nih mau gue kasih bonus gak?” sahut si penumpang dengan senyum menggoda sambil mengulurkan bungkusan kecil berisi pil ks.
“ gak! Makasih”
“weh weh laga lu, ntar juga ngemis ngemis kalo uda sakaw hahahaha.”
“berisik, uda ga ada yang penting kan? Gue harap lo berdua pegi!”
“berani juga ni cewek ngusir kita, sikat bos” wajah itu berubah menjadi beringas di hiasi dengan senyum licik.
“eh eh lo jangan macem-macem ya sama gue, minggir lo, gue teriak nih!” Karin mulai mengerti maksud kedua pria ini, sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa takutnya. Si penumpang turun dari motor, begitupula dengan si pengemudi setelah membenarkan penyangga motornya.
“ish lepasin! Apaan sih lo berdua! Lepasin gue!”  teriak Karin sambil meronta, wajahnya pias sudah karena ketakutan. Namun kedua pria itu tidak menghiraukan ancamannya bahkan semakin berani.
Tiba-tiba seseorang memukul kedua pria tersebut denga balok kayu, kedua pria itu pun tersungkur di tanah. Karin yg sudah kalut ketakutan membiarkan tangan itu menggandeng tangannya dan menariknya untuk lari dari tempat tersebut. Bahkan ia belum sepenuhnya sadar saat sang pemuda itu menyuruhnya menaiki motornya. Mereka pun selamat dari kejaran kedua pria beringas itu. Si pemuda itu memberhentikan motornya di sebuah warung bubur ayam.
“kok turun disini?” tanya Karin yang mulai berangsur-angsur pulih dari rasa ketakutannya.
“gue ga tau rumah lo dimana”
“oh iya deng hehe” Karin nyengir dan duduk di sebelah cowok berpakaian putih-abu itu.
“nih minum dulu, pasti lo tadi haus gara-gara lari-larian” si cowok menyodorkan segelas teh anget yg sudah di pesannya terlebih dahulu
“banget, untung tadi ada lo, thanks banget ya”
“ya sama-sama” cowok itu tersenyum, membuat hati Karin menjadi tidak menentu. Ia menatap lekat-lekat wajah itu, sepertinya ia pernah melihatnya. Tapi kejadian barusan membuat otaknya lambat untuk mengingat.
“eh btw nama lo sapa?”
“Fendi, lo?” Jawabnya datar sambil mamalingkan muka yg daritadi menatap handphone.
“Karin, masih sekolah ya? SMA mana?” Karin baru sadar bahwa cowok itu memakai seragam SMA, sekilas ia melihat nama panjang yang tertera di dada kanannya. Efendi Surya G.
“SMA 123, ngeliatnya gitu banget lo, naksir ya? Haha” ia menggoda tampang polos yg memperhatikan nama panjang di seragamnya, seperti anak TK yg baru belajar membaca.
“idih pede banget” Karin langsung memalingkan muka, wajahnya memanas, malu.
“haha biasa aja sih, sekolah mana lo?”
“gue udah kuliah” Karin menjawab datar, ia mulai salah tingkah karena kejadian –malunya tadi.
“ha? Tampang lo masih kayak anak SMA gitu, SMP malah, taunya uda kuliah” mata Fendi terbelalak.
“kenapa? Gue imut ye? Haha” gantian si Karin yg menggoda cowok itu.
“iya.” Jawab laki-laki itu kembali menatap handphonenya.
‘ett dah ini anak bikin gue salting aja’ batin Karin, tanpa sadar rona merah terlihat di tulang pipinya.
“kayaknya gue pernah liat lo sebelumnya” suara cowok itu memecah keheningan, Karin baru sadar kalau dari tadi Fendi memperhatikannya, dia semakin salah tingkah.
“oh ya? Gue juga ngerasa gitu sih, tapi lupa dimana”
“lo cewek yg pernah nagih titipan barang haram itu kan ke gue?”
DEG!
Seketika wajah yg tadinya merona tersipu malu karena salah tingkah menegang, tampangnya menjadi datar dan sedikit sinis. Karin menatap tajam mata Fendi yang daritadi memperhatikannya dengan raut wajah yang susah di jelaskan.
“oh lo bocah tengil yg buang barang gue itu?”
“iya, haha kita jodoh ya bisa ketemu lagi kayak gini” ujar Fendi tanpa merasa bersalah.
“dih? Seneng lo? Gara-gara kelakuan lo gue hampir sekarat!” mata Karin mendelik marah.
“setidaknya ga mati kan?”
Karin semakin geram dengan pertanyaan konyol yg di lontarkan bocah SMA di depannya, kata-katanya menusuk. Ia teringat kejadian kemarin, sore itu ketika ia baru saja pulang dari kampus. Tiba-tiba seorang cowok yg ia kenal sebagai kekasih Lena datang dengan kabar buruk. Dia memberi tahu kalau Lena di temukan sekarat saat ia hendak pulang ke rumah orang tuanya. Ayahnya yang kebetulan sedang pulang dari kantor terkejut melihat anaknya tergeletak di pagar depan rumah. Lena segera di larikan ke rumah sakit terdekat, berharap lena masih bisa hidup, namun takdir berkehendak lain. Dokter bilang Lena positif overdosis.
Kekasih Lena meminta Karin untuk menghindar dari keluarga Lena agar terhindar dari kemungkinan kemungkinan buruk yang akan menimpanya. Padahal ingin hati ia mengantarkan sahabatnya ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Kematian bagai hantu yang tiba-tiba datang memenuhi benaknya, dan pertanyaan bocah ini adalah sebuah tamparan kecil yg mengiris hati nuraninya.
“haloo, malah ngelamun. Ga nyangka ya cewek kayak lo brutal juga”
“lo mending pergi aja deh kalo lo disini Cuma buat ngata-ngatain gue” Karin berkata sinis.
“yeh ngambek, sory sory gue ga bermaksud. Eh lo abis ngelayat ya? Bajunya item semua gitu” Fendi berusaha mengalihkan pembicaraan.
“iya” Karin sudah malas menanggapi obrolan Fendi.
“siapa yg meninggal?” nada suaranya berubah.
“temen kost gue, overdosis.” Eskpresi wajah Karin terlihat lebih murung.
“oh, sabar ya, gue harap lo bisa berhenti make sejak kejadian ini”
“peduli apa lu? Baru kenal ga usah sok care dah”
“biasa aja sih, udah ah yuk pulang, gue anter lo sampe rumah”
“gue ga tinggal dirumah” jawab Karin datar
“oh iya ke kostan lu deh”
“lagi males balik ke kost”
“terus kemana? Panti rehabilitasi?” Fendi hendak tertawa, tapi ia berusaha agar tetap serius.
“sialan lo dasar, gue bisa berhenti sendiri ! udah sono balik lo!”
“lo gimana?”
“bukan urusan lo gue mau kemana, makasih udah nyelamatin gue hari ini”. Tegas Karin sambil meninggalkan Fendi yg terdiam. Ia ingin mengikuti gadis itu, tapi ada sesuatu yg menahannya sehingga ia memutuskan untuk pulang saat gadis tersebut menghilang dari pandangannya.
Sesampainya dirumah pikiran Fendi masih tidak bisa lepas dari gadis yang di tolongnya sore tadi, malam ini dia berniat untuk menulis lagi. Entah mengapa gadis itu menjadi sumber inspirasi tulisannya malam ini. Setelah mengirimkan hasilnya ke media cetak yang ia tuju lewat email. Fendi juga menampilkan hasilnya juga di blog, seperti yang dia lakukan terhadap karya-karya sebelumnya. Ia tidak menyangka blognya di minati banyak orang, terbukti dengan jumlah follower dan komentator di setiap postingnya. Fendi iseng membuka salah satu blog yang mengomentari postingnya kemarin, blog itu berjudul VELATO.
Ia tertarik dengan tulisan pemilik blog tersebut, mengisahkan tentang keterpurukan dan kerinduan seorang gadis akan kematian yang dia anggap sebagai surga ketenangan. Rupanya gadis pemilik blog ini terjebak dalam buaian pil-pil haram. Fendi teringat kembali tentang Karin. Senyumnya, candanya, sikap jutek dan cueknya semuanya tentang Karin memenuhi setiap jaringan otaknya. Ia tak habis pikir gadis seperti dia mempercepat kematiannya dengan kegiatan bodoh. Tampaknya ia punya masalah yang rumit. Semua itu membuat Fendi semakin penasaran dan tertarik dengan sosok Karin.
***
Karin merasa ada yang aneh dengan cowok itu, baru kenal sudah berani mengomentari hidupnya. Ia kesal, tapi kata-kata cowok itu terus berputar-putar di kepalanya. Sampai dia membuang semua pil yang di tinggalkan Lena di kamarnya dan membiarkan rasa nyeri itu membuai tubuhnya.
Esok harinya sepulang kuliah krin menuju SMA 123, ia bermaksud meminta maaf kepada Fendi. Karin tau sikapnya kemarin terlalu egois.
Fendi baru saja keluar dari halaman parkir sekolah. Sontak dia memberhentikan motor di dekat gerbang sekolah setelah menyadari keberadaan Karin.
“nyari gue lo?” sapa Fendi tiba-tiba.
“eh? Emm iya” jawab Karin sedikit terkejut menyadari keberadaan Fendi.
“ada apa?”
“gue cuma mau minta maaf soal kemarin uda ninggalin lo gitu aja, padahal lo uda nolongin gue hehe maaf ya.” Karin nyengir sejadinya.
“hm oke. Abis ini lo mau kemana? Temenin gue beli buku, mau?” sejenak berpikir, Karin mengangguk.
“hmm okelah, itung-itung bales budi.”
“haha yok”
Motor revo 124 Z pun melesat menuju toko buku terdekat, melenggak-lenggok bak pembalap di tengah sirkuit. Sesampainya di sana mereka membeli buku ‘don’t give up’ yang mengkisahkan tentang seseorang remaja pengidap kanker otak. Sejenak Karin merasa ada yang ganjil, tapi sudahlah. Tak lama setelah membayar uang buku, Fendi mengajak Karin ke sebuah restoran di sebelah toko buku tersebut untuk makan siang. Mereka membicarakan banyak hal dan sudah mulai terlihat akbrab.
“muka lo pucet banget, sakit?” tanya Fendi saat mereka selesai memesan.
“engga sih, ini efeknya ga make lebih dari seminggu”
“oh ya? Uda berenti?” seorang pelayan meletakkan beberapa piring berisikan makanan yang di pesan masing-masing.
“baru mau, tapi gatau ntar lah”
“mending berhenti dari sekarang deh, ga sayang apa lo ngerusak tubuh lo sendiri”
“gue juga gamau kayak gini, tapi gue kejebak dalam masalah”
“lo uda dewasa, pasti lo bisa milih yg terbaik buat lo, lo gatau gimana perasaan orang yang di vonis mau mati, mereka berusaha sekuat tenaga buat bertahan hidup, sedangkan lo yang di kasih sehat malah ngancurin tubuh lo buat mati.” Raut wajah Fendi tiba-tiba menjadi sangat serius.
Kata-kata itu membuat Karin mengingat kisah buku yang dibeli Fendi, semuanya menjadi semakin ganjil. Ia tak tau harus menjawab apa. Makan siang kini berjalan dengan rasa canggung, mereka tenggelam pada pikirannya masing-masing. Selesai menghabiskan bistik sapi, Fendi mengantar Karin pulang ke kostnya.
“thanks Fen”  Fendi tak menjawab, tiba-tiba rasa sakit itu kembali menyergap isi kepalanya. Sembari menggigit bibir bawahnya, Fendi berusaha sebiasa mungkin. Ini belum saatnya...
“Fen? Lo gapapa kan?” Fendi tak bergeming. Butuh waktu untuk sedikit menjinakkan penyakitnya. Fendi menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Kau tak boleh tau...
“gak, gue gapapa kok, gue pamit ya” Fendi tersenyum tulus, baru selangkah Fendi berjalan pergi, tiba-tiba ada sesuatu yang menahannya. Saat mata laki-laki itu menatap ke belakang, Karin menahannya.
“gapapa gimana? Idung lo berdarah gitu?” sentak Karin sambil memperhatikan darah segar itu terus mengalir.
“beneran gue gapapa, paling gue cuma kecapekkan, dah gue pulang” ia melepas tangan Karin. Secepat mungkin mengusap darah segar itu dengan sapu tangan yang siap sedia di saku celananya, dan kemudian pergi secepat mungkin. Dia tak mau Karin tau akan hal ini.
Karin benar-benar dibuat bingung oleh tingkah bocah itu, abstrack.
***
Lama kelamaan Karin dan Fendi semakin akrab, mereka membicarakan apa saja saat bersama. Dan Karin sedikit sedikit mulai meninggalkan pil haram itu, ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan Fendi untuk curhat atau mengajarkannya beberapa mata pelajaran yang tidak di mengerti Fendi, karena sebentar lagi Fendi akan menempuh Ujian Nasional.
Karin amat senang menemukan sahabat seperti Fendi yang selalu memperhatikannya dan selalu ada di saat dia butuh seseorang untuk menguatkannya. Bagitupula dengan Fendi yang entah mengapa menemukan kembali semangat hidupnya berkat Karin, kisah-kisah Karin menjadi inspirasi dari sekian karya tulisnya.
Lima bulan sudah mereka bersahabat, ada rasa yang beda setiap kedua pasang mata itu bertemu. Tapi mereka berusaha bersikap sebiasa mungkin. Fendi sadar akan perasaan itu, tapi ia tidak berani mengungkapkan, ada satu alasan mengapa Fendi melakukannya, karena ia tau umurnya yang takkan menunggu lama. Karin juga demikian, ia berusaha menghapus harapan bahwa Fendi akan melihatnya, ia tidak yakin “dia ga akan suka orang hina kaya gue” batin Karin.
***
Senja mulai menghiasi bumi, tepatnya di pertengahan bulan April. Kini Karin hampir sebulan tidak mengkonsumsi pil itu lagi. Badannya mulai terbiasa setelah sebelumnya ia hanya meneguk pil itu seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, lalu sebulan sekali. Ya, berkat semangat dan kata-kata Fendi yang menusuk bagai tamparan yang membuatnya sadar akan hal bodoh yang dilakukannya.
Dua bulan lagi test kelulusan, dia harus mempersiapkan skripsi dari sekarang. Ia memutuskan kembali kerumah mamanya, betapa bahagianya Nyonya Siregar atas kepulangan anak bungsunya itu. Akhir-akhir ini ia berencana menyambung hubungannya lagi dengan Tuan Siregar, papa Karin. Lalu mencari tahu keberadaan anak sulungnya.
Karin menceritakan segala unek-uneknya kepada mama ketika sang mama meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Air mata nyonya siregar tak henti-hentinya mengalir saat tau bagaimana pahit dunia yang di derita ananknya. Sungguh betapa ia ibu yang tidak bertanggung jawab. Ia berjanji untuk menyembuhkan anaknya dari narkoba.
Beberapa hari setelah itu, Karin langsung di ajak periksa ke dokter untuk cek kesehatan. Ia menunggu di ruang tunggu yang sepi. Pertama pengecekan darah, dilakukan di ruang laboratorium yang berdekatan dengan ruang praktek dokter spesialis syaraf. Karin terpaksa menunggu sendiri, karena mamanya tiba-tiba celingukan tidak jelas. Saat Karin bertanya, mamanya hanya menjawab, “ada keperluan sebentar.” Huh.
“Krek”
Terdengar pintu terbuka dari sebelah ruang laboratorium –ruang praktek dokter syaraf. Betapa kagetnya Karin menemukan sesosok Fendi disana, ia langsung menegur orang itu.
“Fendi? lo sakit apa?” tanya Karin heran. Fendi terkejut mendapati Karin yang sudah di sebelahnya. Dengan gelagapan Fendi menyembunyikan hasil rontgen keadaan otaknya.
“emm engga kok cuma cek kesehatan aja, kok lo juga bisa disini?” jawab Fendi gugup.
“gue lagi cek kesehatan juga di suruh mama, buat meriksa ada penyakit atau efek apa lah yang di timbulkan obat-obatan itu”
“oh, mama? lo udah baikan?”
“iyaa dong, mama malah berencana balik sama papa” Karin terlihat sangat bahagia.
“baguslah kalau begitu, udah bener bener berhenti kan?” Fendi berharap Karin tak menyadari betapa pucat wajahnya saat ini.
“hmm begitulah, gue udah berhasil sebulan ga make”
“anak pintaar” sahut Fendi sambil mengacak-ngacak rambut Karin, tanpa sadar hasil rontgen itu terlepas dari tangannya, terjatuh ke lantai.
“haha apaan sih” Karin menghindar. Tak sengaja benda berbungkuskan amplop coklat yang terlepas dari tangan Fendi mengundang perhatian karin. ia terpaku menyaksikan beberapa slide isi kepala itu. Dia pernah mempelajari ini.
Tangan Fendi berusaha merebut benda tersebut namun tangannya di tampik dengan tegas oleh Karin.
“kanker otak?” tanya Karin hati-hati.
 Fendi menunduk, ia tak berani menatap Karin.
“Fen? Jawab fen! Kenapa lo ga pernah cerita?” mata Karin memanas, ia tidak bisa menahan perihnya mengetahui kenyataan ini.
“maafin gue, itu bukan hal yang penting yang harus di ceritakan Karin..”
“selama ini gue lo anggep apa? Gue selalu ceritain masalah gue ke lo karena gue kira lo juga nganggep gue sahabat! Kenapa sembunyiin ini dari gue?!”
“rin, bahkan orang tua gue juga gatau rin. Maaf ” sungguh Fendi menyesal membuat Karin menangis, ia benci orang di sekitarnya sedih. Karin yang tidak tau harus menjawab apa, ia hanya terdiam sambil mengusap cairan bening yang keluar dari matanya.
“jangan nangis..” suara Fendi parau. Tangannya mengusap air mata Karin.
“gue juga gamau penyakit ini rin, penyakit ini sempat merenggut semangat hidup gue, menghancurkan harapan dan mimpi gue, tapi gue sadar, itu semua sia-sia, gue berusaha melakukan yang terbaik di akhir hidup gue, gue berusaha memperpanjang hidup gue, memperbaiki kesalahan gue, membuat mereka bahagia sebelum kepergian gue, itulah sebabnya gue membenci  lo dulu, yang merusak hidupmu yang masih berumur, dengan hal yang bodoh, hidup itu indah rin, semua masalah pasti ada jalan keluarnya, kecuali kematian..” ucap Fendi panjang lebar, ia hanya menghibur dirinya agar tampak kuat di depan Karin yang tetap diam sesenggukan.
“rin jangan nangis ah jelek” Fendi berusaha mencairkan suasana.
“biarin,  lo yang bikin gue nangis nih tanggung jawab!” Karin menghibur diri dengan candaan konyol yang terlontar begitu saja.
“iya iya mau apa? Es krim? Permen? Balon?”
“dih? Gue udah kuliaaah heeeh!” seru Karin sambil mencubit pinggang Fendi. Tangisnya hilang di susul dengan tampang ngambek ala bayi.
“haha iya iyaa, gitu dong jangan nangis lagi,  lo nangis juga gue ga bakal sembuh”
“iyaa  lo jaga kesehatan yaa biar bisa idup lebih lama” suaranya menggantung. Fendi pun terdiam.
“Karin, 2 minggu lagi gue UN, terus ujian sekolah, kalo lulus nanti gue bakal berangkat ke singapore buat kuliah disana, kemungkinan kita ketemu lagi kecil, apalagi  lo juga mau nyiapin skripsi sama test kelulusan”
“jauh banget kuliah di singapore? Di UI aja napa”
“ya emang keterimanya disana, lagian papa uda mulai sukses bisnisnya di sana”
“yah jauh dong, nanti kalo berangkat kabarin ya biar gue anter ke bandara” pinta Karin
“ga usah,  lo kan lagi sibuk buat skripsi, lagian gue berangkatnya Juni kok, seminggu setelah  lo wisuda, ya tapi papa minta gue nemenin dia dulu disana abis UN nanti, sekalian survei kampus, abis itu balik lagi bentar buat packing barang barang sekalian nghadirin wisuda  lo–” jelas Fendi dengan senyum penuh makna. Semoga saja memang begitu...
“lo kudu janji!” nampak seulas senyum di wajah gadis itu.
“janji” wajah Fendi berubah semringah. “ga jadi periksa? Udah malem tau.”
“oh iya ding haha keasikan ngobrol sama  lo sih.” Karin nyengir sejadinya.
“dasar, udah sono masuk, gue pulang dulu ya” Fendi beranjak dari tempat semula.
“eh Fen...” sahutnya sambil menahan tangan Fendi. Langkah kaki Fendi terhenti.
“kenapa?”
“emm gapapa.. ati-ati di jalan” senyumnya penuh semangat. “lo harus tepatin janji lo”
Sedikit Fendi mengangguk,“bye” ucapnya singkat.
Karin memandangi punggung itu hingga menghilang di balik pintu. Ia masih tak rela dengan langkah kaki Fendi, tapi entah lah. Perasaannya tidak enak. Seolah malam ini adalah pertemuan terakhirnya. Hasil rontgen tentang penyakit Fendi masih berjubel pikirannya, dia tak mau kehilangan Fendi, orang yang kini tengah memegang hatinya. Dengan langkah gontai ia memasuki ruang praktek, dokter sudah lama menunggunya.
***
Para calon sarjana telah bersiap-siap menerima piagam kelulusan. Perlahan mereka menaiki tangga panggung di aula Universitas Indonesia. Tatapan bangga dan tangis bahagia terpancar dari keluarga-keluarga mereka yang sebentar lagi anaknya bergelar sarjana.
“Felicya Karina Putri Siregar” sang moderator mengucap nama yang kesekian kalinya.
Sang pemilik nama terbangun dari lamunannya. “sejak kapan aku suka melamun?” batin Karin. Gadis dengan topi segi lima itu maju untuk menerima piagam dan peresmian gelar sarjana. Tepuk tangan mama papanya yang baru baru ini bersatu kembali menjadi sorotan Karin yang tak kalah bahagianya dari mereka. Sungguh hari yang sangat bahagia. Selepas pengesahan dan mendapat ucapan selamat dari keluarga dan teman temannya, Karin tampak celingukan mencari seseorang, seseorang yang sejak menyelamatkannya dari kejaran dua orang preman, seseorang yang telah memberikannya kesadaran akan arti hidup, dimana dia? Padahal acara wisuda akan segera berakhir.
Karin berjalan meninggalkan keluarganya yang sedang asik bercakap-cakap dengan rekannya masing-masing. Dia meninggalkan aula, mencari sosok yang dia harap bisa datang di saat-saat indah seperti ini.
“kak Karin?” Karin terlonjak kaget, seorang gadis mungil tengah berdiri di sebelahnya, mengenakan baju hitam volkadot bertudungkan selembar kain hitam.
“ya? Ada apa?”
“kakak temannya kak Fendi?” tanya gadis itu, terlihat matanya yang agak merah.
“iya, kak Fendi mana?”
“maaf kak dia tidak bisa datang, aku Tania adik kak Fendi.” ujar Tania, kini matanya mulai berkaca-kaca. Ada apa dengan bocah ini?
Gadis mungil itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “ada titipan surat, permisi –” gadis yang bernama tania itu langsung nyelonong pergi. “surat?” cepat-cepat Karin membukanya surat itu.

Dear Karin, sahabat gue tercinta..
Hai apa kabar cantik? Pasti sekarang  lo sedang bahagia setelah mendapat gelar sarjana. Maaf banget ya gue ga bisa dateng. Gue ga tau angin apa yang membuat gue nekat menulis surat ini, gue yakin saat  gue tulis surat ini  lo lagi sibuk dengan skripsimu. Ada firasat kuat yang membuat gue merasa hidup gue tak kan lama lagi. Gue merasa beban gue sudah lenyap. Waktu gue di dunia ini tak kan sampai untuk menghadiri acara wisudamu. Mungkin saat kau membaca surat ini gue sudah tenang di surga. Doakan saja begitu.
Gue senang punya sahabat sepertimu, dan maaf sekali lagi gue baru bisa mengungkapkan perasaan gue lewat butir-butir kata yang mungkin sudah terlambat. Setidaknya kau mengetahuinya meski gue telah tiada. Gue mencintaimu. Entah bagaimana bisa gue mencintai orang yang mungkin membenci gue. Meski sepertinya rasa itu tak berbalas. Kau tau pun, cukup membuat gue tenang, gue tidak bisa berharap lebih. Karena gue hanya bayangan yang tak mungkin menggapaimu.
Harapan terakhir gue kau bisa sepenuhnya lepas dari dunia gelapmu, gue tidak mau kau menyianyiakan hidupmu lagi. Lihatlah mereka yang kini bahagia karenamu, kau akan menyesal melihat airmata orang yang kau cintai itu saat kau sendiri tak mampu menghapusnya. Lakukan yang terbaik selama nikmat hidup masih berpihak padamu.
Hmm  guerasa hanya itu pesan terakhir gue, semoga kau bahagia dengan hidupmu kini. Terakhir, gue minta maaf atas segala kesalahan yang gue buat, dan terimakasih telah memberi setitik warna yang sangat berarti di kanvas hidup gue..
Salam terakhir
Efendi Suryo Guntoro
Tanpa sadar air mata telah membasahi wajahnya, ia sungguh tak menyangka Fendi pergi begitu cepat. Penyesalan akan rasa yang terlambat itu membuat air matanya semakin deras mengalir.
“kita masih bisa ketemu lagi kok, tenang aja” suara Fendi menyeruak di gendang telinganya. Hatinya miris mengingat malam pertemuan terakhirnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan Fendi.
Ia menegakkan kepalanya ke atas, terlihat awan yang mulai mendung. Karin berharap menemukan bayangan orang yang di cintainya itu di langit. Seketika ia tersenyum,
“terima kasih Fendi, semoga kau tenang di alam sana” gumamnya pelan.
Ia menghapus linangan air matanya, menguatkan diri untuk kembali ke aula, sudah saatnya ia membuka lembaran baru. Memulai segalanya dari awal, kata-kata Fendi adalah semangat baginya yang telah membuatnya berhasil menembus pekat. Menjauh dari hitamnya dunia. Merajut hari esok yang lebih baik.
-End-

0 comment:

Followers