why not paint in a different perspective?
Kupandangi jendela
yang berlapiskan plastik. Ku tatapi jalanan yg masih sepi. Terlihat beberapa
orang berlalu lalang. Aku sempat bermimpi bisa seperti mereka, berteman,
bermain, punya kekasih, dan berciuman. Tapi itu mimpi yang bahkan aku sendiri
takut untuk membayangkan.
Aku terlahir
dengan spesial. Hanya oksigen asli yang dapat ku hirup. Selain itu, carbon
dioksida, carbon monoksida, dan sejenisnya aku bisa seketika mati. Spesial bukan?
Hanya di kamar “bersih” ini aku bisa
hidup. Alat sterilisasi udara, plastik yg menyelebungi setiap sudut kamar. Duniaku
hanya dikamar ini.
Bahkan mama krtika
memasuki kamar juga harus melakukan proses pensterilan. Semoga aku tidak
mendadak gila.
“ini mama bawa makanan buat kamu, makan yg banyak ya! Kalo mau
nambah telpon mama aja” dia tersenyum
kemudian pergi.
Roti isi coklat
favoritku. Kuambil lalu aku makan sembari memandang keluar jendela. Banyak jendela
di sini. Namun hanya satu yg membuatku tertarik. Pemandangan yang menuju ke
arah jalanan. Di sebrangnya ada sebuah rumah tua yang tak terurus, rumputnya
tumbuh lebat dimana-mana. Mama bilang itu rumah pembawa sial bagi yang
menginjak halaman rumahnya. Omong kosong. Siapa peduli dengan sial, bisa keluar
rumah saja sudah beruntung tidak mati.
Aku beranjak dari
tempatku. Kuambil kanvas, kuas, cat minyak, dan kipas kecil. Ini kegiatanku
satu satunya yang membuatku menjadi waras.
Aku mulai melukis
rumah itu kesekian kalinya. Eh tunggu, ada yang berbeda! Ada seorang laki-laki berdiri
di antara halaman rumah itu, dia memakai kaos alakadarnya, dia seumuran dengan
ku.
Aku menatapnya
lama, hingga laki-laki itu tiba tiba membalas tatapanku. Mataku membelalak. Dia
melambaikan tangan, dan dia tersenyum.
Tanpa pikir panjang,
seketika aku bersembunyi dibalik kanvas, sedikit sedikit mencuri pandang. Siapa
laki-laki ini?
Aku kembali
melukisnya ketika dia tak lagi memandangku. Aku lukis dia dengan apik
namun sekaligus penuh rasa ingin tahu. Siapa
laki-laki langka ini?