Wednesday, June 19, 2013

0

why not paint in a different perspective?

Posted in ,
why not paint in a different perspective?
Kupandangi jendela yang berlapiskan plastik. Ku tatapi jalanan yg masih sepi. Terlihat beberapa orang berlalu lalang. Aku sempat bermimpi bisa seperti mereka, berteman, bermain, punya kekasih, dan berciuman. Tapi itu mimpi yang bahkan aku sendiri takut untuk membayangkan.
Aku terlahir dengan spesial. Hanya oksigen asli yang dapat ku hirup. Selain itu, carbon dioksida, carbon monoksida, dan sejenisnya aku bisa seketika mati. Spesial bukan?
Hanya di kamar bersih ini aku bisa hidup. Alat sterilisasi udara, plastik yg menyelebungi setiap sudut kamar. Duniaku hanya dikamar ini.
Bahkan mama krtika memasuki kamar juga harus melakukan proses pensterilan. Semoga aku tidak mendadak gila.
ini mama bawa makanan buat kamu, makan yg banyak ya! Kalo mau nambah telpon mama aja dia tersenyum kemudian pergi.
Roti isi coklat favoritku. Kuambil lalu aku makan sembari memandang keluar jendela. Banyak jendela di sini. Namun hanya satu yg membuatku tertarik. Pemandangan yang menuju ke arah jalanan. Di sebrangnya ada sebuah rumah tua yang tak terurus, rumputnya tumbuh lebat dimana-mana. Mama bilang itu rumah pembawa sial bagi yang menginjak halaman rumahnya. Omong kosong. Siapa peduli dengan sial, bisa keluar rumah saja sudah beruntung tidak mati.
Aku beranjak dari tempatku. Kuambil kanvas, kuas, cat minyak, dan kipas kecil. Ini kegiatanku satu satunya yang membuatku menjadi waras.
Aku mulai melukis rumah itu kesekian kalinya. Eh tunggu, ada yang berbeda! Ada seorang laki-laki berdiri di antara halaman rumah itu, dia memakai kaos alakadarnya, dia seumuran dengan ku.
Aku menatapnya lama, hingga laki-laki itu tiba tiba membalas tatapanku. Mataku membelalak. Dia melambaikan tangan, dan dia tersenyum.
Tanpa pikir panjang, seketika aku bersembunyi dibalik kanvas, sedikit sedikit mencuri pandang. Siapa laki-laki ini?
Aku kembali melukisnya ketika dia tak lagi memandangku. Aku lukis dia dengan apik namun  sekaligus penuh rasa ingin tahu. Siapa laki-laki langka ini?

***
Beberapa hari setelah itu, lukisanku bertambah satu hal baru. Laki laki itu tetap menyapaku kemudian kembali menikmati jalanan. Yg disapa hanya tersenyum sembari tetap melukis.
Perasaan aneh apa yg diam diam menyelimuti hatiku, merasuki hatiku, bahkan hampir membuat hatiku terkoyak?
dewi, ada kiriman buat kamu! mama berseru dari bawah tangga, suaranya terdengar terburu-buru. Alhasil nafasnya terengah engah kala membuka pintu kamar.
ada kiriman buat kamu! senyumnya melebar, lebih lebar dari biasanya.
Dia menyodorkan sebuah bungkusan persegi panjang. tapi mama nggak menemukan siapa yang mengirim ini tiba-tiba wajahnya mengkerut bak plastik yang didekatkan kobaran api.
nggak papa ma, terimacium! ku kecup pipi mama, kemudian dia berlalu pergi.
Kupandangi lekat bungkusan ini. untuk pelukis rumah pembawa sial sepertinya laki-laki itu tersangkanya.
Ku buka dengan penuh rasa tanda tanya. Dan waw! Ini sebuah lukisan purnama yang teramat indah. Ada sebuah pesan dibalik lukisan itu.
why not paint in a different perspective?
Aku tertawa kecil. Tepat di bawah kamarku dia mlukis purnama ini. Aku yakin.
Esok harinya, ku siapkan alat lukisku sembari menggantungkan roti isi coklat di mulut. Ku rapihkan rambut, baju dan segalanya. Entah bagaimana perasaan aneh ini selalu membuatku bersemangat kala pagi, dan menjadikanku gila kala malam.
2 jam telah berlalu semenjak aku duduk manis menunggu laki laki itu muncul kembali menjadi objek. Dia tak pernah terlambat untuk berdiri di sana. Selalu tepat pada pukul 8 pagi.
Aku mulai melukis perlahan. Mungkin saat dia datang, aku akan lebih cepat menyelesaikannya.
Pukul setengah 12 siang. Apa dia bosan? Ah jangan-jangan pembawa sial itu bukan omong kosong! Aku bahkan tak berani untuk berpikiran lebih lanjut.
Tiba-tiba dadaku sesak, nafasku berat, kerongkonganku kering, dan mataku panas. Sepertinya penyakitku kambuh. mama! Mama! aku berteriak penuh emosi. mama! Mama! mama panik melihatku yang berguling-guling di ranjang. kenapa nak? Kenapa? Bilang sama mama.. suara mama mulai tersendak.
Ku peluk mamaku erat-erat. ma, lukisanku hilang.. lukisanku hilang! Hilang ma! aku menangis tersedu sedu. Dielusnya rambut hitamku, lalu dikecupnya. tenang nak.. tenang, apanya yang hilang? mamaku ikut menangis. lukisanku.. lukisanku hilang.. dia hilang.. lukisanku hilang!
***
Aku menyadari, sesempit sempitnya duniaku, masih ada yang mampu membuatku bertahan, membuatku tersenyum, bahkan membuatku jatuh cinta.
Dia yang memang menderita aids selalu bertahan untuk tetap berdiri tegar menatap jalanan dan juga menatapku. Bahkan ketika dia mencoba untuk mengucapkan salam perpisahan, namun tak sanggup.
why not paint in a different perspective? ku peluk erat purnamaku. Kupeluk erat lukisanku.

End

0 comment:

Followers