Friday, March 9, 2012

0

Do’a Hujan

Posted in ,

Do’a Hujan

By : Dewi Hajar Kunarso
Di langit sore ini, beberapa gumpalan awan mulai bergerombol, membentuk kelompok di sana-sini. Membuat langit menjadi kelabu. Sebentar lagi akan turun hujan. Burung-burung yang memamerkan sayapnya pada sore hari juga sudah terbang ke sarangnya masing-masing. Kecuali aku.
Dulu aku juga pernah diceritakan ayahku tentang bagaimana hujan bisa turun ke bumi. Berawal dari air laut yang menguap, kemudian dengan baik hati para awan menampungnya untuk kembali di tumpahkan ke bumi dan mengalir melewati sungai, hingga akhirnya kembali lagi ke laut. Betapa bersemangatnya waktu itu ayah bercerita. Menggerakkan tangannya sebagai alat peraga, dan memberi gertakan kecil di setiap berjumpa dengan kata-kata penting. Aku yang masih berumur sebiji jagung sangat antusias mendengarnya. Bukan karena mengerti, tapi karena aku suka dengan ekspresi ayah. Lalu ketika aku serius itulah, ayah mengagetkanku dengan leluconnya. Dan saat ini aku juga tengah serius, serius untuk menunggumu kembali…
Perlahan siklus itu dimulai. Hujan dengan penakutnya datang bergerombol menghantam bumi. Penakut! Aku bergerutu dengan suara lemah. Tapi, kata ayah “Berdoalah disetiap turun hujan, karena disaat itulah Allah akan bermurah hati kepadamu.” Seketika aku mematung.
Kudekap erat kedua lututku yang mulai menggigil kedinginan di bawah sebuah pohon beringin berukuran sedang. Semakin lama, semakin erat. Di hadapanku terpampang jelas sebuah induk sungai yang mengalir dengan tenang, walaupun permukaannya selalu bergoyang karena sentuhan air hujan. Sungai induk ini bermuara nun jauh di sebrang hutan jati sana. Lebarnya lebih dari 2 meter, dan panjangnya, aku tidak tahu.
Di tepian sungai ini, tak ada tanah yang masih kering, dan sayang, semuanya berlumpur. Waktu umurku sekitar anak berjenjang sekolah dasar, ayah sering mengajakku ke sini. Kadang memancing ikan, kadang pula berburu kepiting sungai untuk dijual di pasar. Beliau tak pernah pandang bulu dengan cuaca sekitar, entah itu hujan atau panas. Karena ada 2 perut kelaparan yang setia menunggunya, berharap pulang membawa makanan meskipun hanya secuil.
Aku mempunyai adik laki-laki ketika umurku mulai menginjak 10 tahun. Kala itu amak dan ayah mulai bekerja lebih giat dari pada sebelumnya. “Kan buat sekolah smp sarah sama keperluan si kecil iwan” jawabnya sembari menggoda bayi kemarin sore itu ketika aku tanya. Setelah 3 tahun berlalu, beberapa kali aku sempat malu pada diriku sendiri karena harus memendam cemburu pada iwan. Tapi saat ini sudah berbeda ayah… aku tak lagi pencemburu kasih sayang… karena aku tahu, bahwa itu tidak ada gunanya. Karena itu ayah, kembalilah… aku mohon dengan sangat…
10 menit sudah aku bergeming di tempat ini, menatap pilu hentakan lembut yang dibuat air sungai. Beliau juga sering bilang padaku, “Air sungai yang tenang itu belum tentu aman.” Lalu kenapa ayah masih saja melakukannya? Perlahan aku terisak. Air mataku yang jatuh, sempurna bercampur dengan air hujan. Sejenak aku memandang langit. Ya, tentu saja masih kelabu. Sekelabu hatiku saat ini.
***
“Berjuanglah hingga tetes darah penghabisan.”  Ucap ayah yang sedang berusaha mengangkat jebakan kepiting satu persatu. Aku berdiri tak jauh darinya. “Seperti para pejuang palestina yang selalu kuat menghadapi tentara jahanam Israel sampai akhirnya meninggal dengan syahid.” Lanjutnya. Tangan uletnya mulai mengangkat jebakan yang berisi kepiting. “Dan ini adalah sebagian kecil yang sedang kita perjuangkan!” Dia tersenyum puas. Aku tertawa sambil bertepuk tangan. “Akhirnya kita jadi makan!” aku bersorak kemudian memungut kepiting tadi.
“Kamu bawa pulang dulu yang ini, ayah mau mengambil jebakan yang di sana.” Beliau melangkahkan kali menuju tengah-tengah sungai. “Kenapa harus sekarang?” tanyaku polos.
“Matahari sudah mau berganti tempat.” Beliau masih teguh melangkah. Aku menurut. Baru 10 langkah dari tempatku tadi, aku mendengar jeritan ayah. Jantungku seketika berjalan cepat. Dag dig dug dag dig dug badanku seketika terasa dingin. Aku segera membalik badan, berharap suara itu bukan berasal dari ayah, atau ayah hanya ingin mengerjaiku saja. Tapi Allah berkehendak lain, ayahku lenyap dalam hitungan detik. Yang aku lihat hanya sebagian air berwarna merah darah. Sekelebat bayangan punggung bergerigi, timbul di permukaan air yang berwarna merah. Lalu tenggelam begitu saja.
Wajahku seketika pusat pasi, seluruh badanku seakan tengah di borgoli benda yang amat berat. Aku tak bisa bergerak. Otakku masih memproses tayangan yang baru saja melewat mataku ini. Lama, kakiku mulai bergemetar hebat. Seluruh badanku juga ikut menyusul. Terutama hatiku.
Kesadaranku kini telah pulih sudah. Aku terduduk lemas di tanah. Aku tak tau bagaimana kejadian ini bisa terjadi, begitu cepat, sangat cepat malah. Seperti di buru oleh anjing liar, aku segera berlari menuju dimana ada manusia, tentunnya manusia yang akan menolong ayahku. Ini tidak mungkin…
 “Amaak…! A…ay…ayah! Da…darah! Sung…ai!” aku seperti orang yang tengah kesetanan. Menunjuk dengan gegabah ke arah induk sungai itu. Amak kebingungan, tapi karena mendengar kata ayah, dan darah, amak sepertinya langsung mengerti. Amak panik!
Kami berlari tergopoh-gopoh menuju sungai. Ketika sampai, bau aroma amis darah samar-samar masih terasa. Jantungku tetap saja berdegup kencang. Ya Allah, apa kau baru saja mengambil ayahku? Tiba-tiba, peluh membasahi pipiku, kerongkonganku sakit, dadaku sesak. Semua terjadi amat sangat cepat. Apakah harus secepat ini? Dalam hati aku menjerit begitu kencang. Perlahan amak melingkarkan tangannya di kepalaku. “Ayah…” aku berhasil mengucapkannya. Dadaku semakin teramat sesak. Terlalu sesaknya, hingga aku tak lagi sanggup berkata apa-apa lagi.
***
Suara kilat yang menyambar membuatku tersadar dari lamunan. Hujan ternyata semakin lebat. Sudah 6 bulan semenjak kepergian ayah, tapi sudah tak terhitung berapa kali aku mendatangi tempat ini. Setiap hujan menyapa bumi, ya, di setiap hujan menyapa bumi itulah jadwalku kemari. Berdoa untuk ayah, berdoalah disetiap turun hujan, karena disaat itulah Allah akan bermurah hati kepadamu... aku takkan pernah lupa setiap kalimat nasehat dari beliau.
“Walau aku tahu ayah tak lagi bisa bersamaku di bumi ini, tapi aku selalu berharap ayah akan kembali kepadaku. Jika itu tidak mungkin, aku selalu berharap bahwa ayah yang akan menjemputku” aku bergumam pelan. Peluhku masih mengalir dengan bercampur air hujan.
Aku menatap langit sendu. “Rabbighfirlii waliwalidayya warkhamhumaa kamaa rabbayaanii soghiiraa.” Ya Allah sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku masih kecil. Batinku dengan kusyu’.
Tiba-tiba, ketika aku kembali menatap datar, aku melihat seseorang yang sangat familiar di mataku. Wajahnya, senyumannya, matanya, tak salah lagi! Dia adalah ayah!
“Maaf ya sarah, waktu itu ayah pergi tanpa pamit padamu juga amak.” Suaranya lembut melebihi lembutnya suara penyanyi papan atas. Dia tersenyum. Aku juga tersenyum, senyum yang paling aku banggakan. “Kau mau ikut ayah?” dia bertanya masih dengan senyumnya. Tanpa perlu ditanya kedua kalinya, aku mengangguk bersemangat.
Ayah menggandengku dengan lembut. Tiba-tiba lagi, aku seperti melihat amak. Ya! Itu benar amak! Tidak salah lagi!
*end*

0 comment:

Followers