Do’a Hujan
Posted in Cerita Pendek, CerpenDo’a Hujan
By : Dewi Hajar Kunarso
Di
langit sore ini, beberapa gumpalan awan mulai bergerombol, membentuk kelompok
di sana-sini. Membuat langit menjadi kelabu. Sebentar lagi akan turun hujan.
Burung-burung yang memamerkan sayapnya pada sore hari juga sudah terbang ke
sarangnya masing-masing. Kecuali aku.
Dulu
aku juga pernah diceritakan ayahku tentang bagaimana hujan bisa turun ke bumi.
Berawal dari air laut yang menguap, kemudian dengan baik hati para awan
menampungnya untuk kembali di tumpahkan ke bumi dan mengalir melewati sungai,
hingga akhirnya kembali lagi ke laut. Betapa bersemangatnya waktu itu ayah
bercerita. Menggerakkan tangannya sebagai alat peraga, dan memberi gertakan
kecil di setiap berjumpa dengan kata-kata penting. Aku yang masih berumur
sebiji jagung sangat antusias mendengarnya. Bukan karena mengerti, tapi karena
aku suka dengan ekspresi ayah. Lalu ketika aku serius itulah, ayah
mengagetkanku dengan leluconnya. Dan saat ini aku juga tengah serius, serius
untuk menunggumu kembali…
Perlahan
siklus itu dimulai. Hujan dengan penakutnya datang bergerombol menghantam bumi.
Penakut! Aku bergerutu dengan suara lemah. Tapi, kata ayah “Berdoalah
disetiap turun hujan, karena disaat itulah Allah akan bermurah hati kepadamu.” Seketika
aku mematung.
Kudekap
erat kedua lututku yang mulai menggigil kedinginan di bawah sebuah pohon
beringin berukuran sedang. Semakin lama, semakin erat. Di hadapanku terpampang
jelas sebuah induk sungai yang mengalir dengan tenang, walaupun permukaannya
selalu bergoyang karena sentuhan air hujan. Sungai induk ini bermuara nun jauh
di sebrang hutan jati sana. Lebarnya lebih dari 2 meter, dan panjangnya, aku
tidak tahu.
Di
tepian sungai ini, tak ada tanah yang masih kering, dan sayang, semuanya
berlumpur. Waktu umurku sekitar anak berjenjang sekolah dasar, ayah sering
mengajakku ke sini. Kadang memancing ikan, kadang pula berburu kepiting sungai
untuk dijual di pasar. Beliau tak pernah pandang bulu dengan cuaca sekitar,
entah itu hujan atau panas. Karena ada 2 perut kelaparan yang setia menunggunya,
berharap pulang membawa makanan meskipun hanya secuil.
Aku
mempunyai adik laki-laki ketika umurku mulai menginjak 10 tahun. Kala itu amak
dan ayah mulai bekerja lebih giat dari pada sebelumnya. “Kan buat sekolah smp
sarah sama keperluan si kecil iwan” jawabnya sembari menggoda bayi kemarin sore
itu ketika aku tanya. Setelah 3 tahun berlalu, beberapa kali aku sempat malu
pada diriku sendiri karena harus memendam cemburu pada iwan. Tapi saat ini
sudah berbeda ayah… aku tak lagi pencemburu kasih sayang… karena aku tahu,
bahwa itu tidak ada gunanya. Karena itu ayah, kembalilah… aku mohon dengan
sangat…
10
menit sudah aku bergeming di tempat ini, menatap pilu hentakan lembut yang
dibuat air sungai. Beliau juga sering bilang padaku, “Air sungai yang tenang
itu belum tentu aman.” Lalu kenapa ayah masih saja melakukannya? Perlahan
aku terisak. Air mataku yang jatuh, sempurna bercampur dengan air hujan.
Sejenak aku memandang langit. Ya, tentu saja masih kelabu. Sekelabu hatiku saat
ini.
***
“Berjuanglah
hingga tetes darah penghabisan.” Ucap
ayah yang sedang berusaha mengangkat jebakan kepiting satu persatu. Aku berdiri
tak jauh darinya. “Seperti para pejuang palestina yang selalu kuat menghadapi
tentara jahanam Israel sampai akhirnya meninggal dengan syahid.” Lanjutnya.
Tangan uletnya mulai mengangkat jebakan yang berisi kepiting. “Dan ini adalah
sebagian kecil yang sedang kita perjuangkan!” Dia tersenyum puas. Aku tertawa
sambil bertepuk tangan. “Akhirnya kita jadi makan!” aku bersorak kemudian
memungut kepiting tadi.
“Kamu
bawa pulang dulu yang ini, ayah mau mengambil jebakan yang di sana.” Beliau
melangkahkan kali menuju tengah-tengah sungai. “Kenapa harus sekarang?” tanyaku
polos.
“Matahari
sudah mau berganti tempat.” Beliau masih teguh melangkah. Aku menurut. Baru 10
langkah dari tempatku tadi, aku mendengar jeritan ayah. Jantungku seketika
berjalan cepat. Dag dig dug dag dig dug badanku seketika terasa dingin. Aku
segera membalik badan, berharap suara itu bukan berasal dari ayah, atau ayah
hanya ingin mengerjaiku saja. Tapi Allah berkehendak lain, ayahku lenyap dalam
hitungan detik. Yang aku lihat hanya sebagian air berwarna merah darah.
Sekelebat bayangan punggung bergerigi, timbul di permukaan air yang berwarna
merah. Lalu tenggelam begitu saja.
Wajahku
seketika pusat pasi, seluruh badanku seakan tengah di borgoli benda yang amat
berat. Aku tak bisa bergerak. Otakku masih memproses tayangan yang baru saja melewat
mataku ini. Lama, kakiku mulai bergemetar hebat. Seluruh badanku juga ikut
menyusul. Terutama hatiku.
Kesadaranku
kini telah pulih sudah. Aku terduduk lemas di tanah. Aku tak tau bagaimana
kejadian ini bisa terjadi, begitu cepat, sangat cepat malah. Seperti di buru
oleh anjing liar, aku segera berlari menuju dimana ada manusia, tentunnya
manusia yang akan menolong ayahku. Ini tidak mungkin…
“Amaak…! A…ay…ayah! Da…darah! Sung…ai!” aku
seperti orang yang tengah kesetanan. Menunjuk dengan gegabah ke arah induk
sungai itu. Amak kebingungan, tapi karena mendengar kata ayah, dan darah, amak
sepertinya langsung mengerti. Amak panik!
Kami
berlari tergopoh-gopoh menuju sungai. Ketika sampai, bau aroma amis darah
samar-samar masih terasa. Jantungku tetap saja berdegup kencang. Ya Allah,
apa kau baru saja mengambil ayahku? Tiba-tiba, peluh membasahi pipiku,
kerongkonganku sakit, dadaku sesak. Semua terjadi amat sangat cepat. Apakah
harus secepat ini? Dalam hati aku menjerit begitu kencang. Perlahan amak
melingkarkan tangannya di kepalaku. “Ayah…” aku berhasil mengucapkannya. Dadaku
semakin teramat sesak. Terlalu sesaknya, hingga aku tak lagi sanggup berkata
apa-apa lagi.
***
Suara
kilat yang menyambar membuatku tersadar dari lamunan. Hujan ternyata semakin
lebat. Sudah 6 bulan semenjak kepergian ayah, tapi sudah tak terhitung berapa
kali aku mendatangi tempat ini. Setiap hujan menyapa bumi, ya, di setiap hujan
menyapa bumi itulah jadwalku kemari. Berdoa untuk ayah, berdoalah disetiap
turun hujan, karena disaat itulah Allah akan bermurah hati kepadamu... aku
takkan pernah lupa setiap kalimat nasehat dari beliau.
“Walau
aku tahu ayah tak lagi bisa bersamaku di bumi ini, tapi aku selalu berharap
ayah akan kembali kepadaku. Jika itu tidak mungkin, aku selalu berharap bahwa
ayah yang akan menjemputku” aku bergumam pelan. Peluhku masih mengalir dengan
bercampur air hujan.
Aku
menatap langit sendu. “Rabbighfirlii waliwalidayya warkhamhumaa kamaa
rabbayaanii soghiiraa.” Ya Allah sayangilah kedua orang tuaku, sebagaimana
mereka menyayangiku ketika aku masih kecil. Batinku dengan kusyu’.
Tiba-tiba,
ketika aku kembali menatap datar, aku melihat seseorang yang sangat familiar di
mataku. Wajahnya, senyumannya, matanya, tak salah lagi! Dia adalah ayah!
“Maaf
ya sarah, waktu itu ayah pergi tanpa pamit padamu juga amak.” Suaranya lembut
melebihi lembutnya suara penyanyi papan atas. Dia tersenyum. Aku juga
tersenyum, senyum yang paling aku banggakan. “Kau mau ikut ayah?” dia bertanya
masih dengan senyumnya. Tanpa perlu ditanya kedua kalinya, aku mengangguk
bersemangat.
Ayah
menggandengku dengan lembut. Tiba-tiba lagi, aku seperti melihat amak. Ya! Itu
benar amak! Tidak salah lagi!
*end*
0 comment: