Friday, December 7, 2012

0

Perahu Kertas

Posted in ,
Grey, panggil saja aku seperti itu. aku pengidap -kata mom- skizofrenia. entah kenapa, setiap kali aku melihat orang, aku selalu merasa terancam. jadilah aku memilih kamar sebagai tempat berlindung yang teraman.

pernah suatu saat aku mencoba keluar rumah, mom yang mengajakku menjenguk dad di sebuah tempat penuh dengan gundukan tanah, potongan kayu yang sedikit aneh, dan bunga kamboja putih. seharusnya, yang dianggap skizofrenia itu mom, karena dia sering berbicara sendiri diatas salah satu gundukan tanah itu.

tepat kala mom sibuk dengan dunianya itu, aku berjalan menjauh darinya, kesebuah sungai yang tak jauh dari mom berjongkok. seorang gadis seumuranku tengah melipat-lipat suatu kertas, dibentuknya sebuah kapal. sesaat dia menengadahkan kedua telapak tangan, memejamkan mata. kemudian, perahu kertas itu dialirkannya kesungai. aku tetap memandanginya. hanya sekali itu, aku melihat seseorang itu bagaikan bidadari.
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali. Alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Grey, kau mau menjenguk dad?" mom merayuku dengan coklat batang sebagai sogokan. tanpa perlu itu semua, aku pasti akan ikut mom. aku tertawa, dan mom kembali bertanya. "kau tertawa? karena dad atau karena akan bertemu si pembuat perahu kertas?" bingo! mom tau darigerak-gerikku kala itu. dan aku hanya tertawa puas, sembari tersenyum lebar.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua.  Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. 
tempat penuh gundukan tanah itu lagi yang ku sapa. tepat sebulan setelah aku bertemu sang "bidadari".
tubuhku bergerak kearah sungai tempat perahu kertas itu berlayar. airnya yang keruh berwarna kecoklatan, ombaknya yang tenang, sama seperti 1 bulan yang lalu. namun ada yang berbeda.


bidadari penghantar perahu Nuh itu tak ku dapat, dan pasti pula tak ada perahu Nuh yang berlayar untuk mengangkuti pada makhluk hidup seperti yang diceritakan mom. hatiku mengkerut, seakan ada pecahan kayu tajam yang menikamnya secara bertubi-tubi.

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
wajahku muram seketika. mom menyadari itu. mom langsung membawaku kembali ke tempat perlindungan yang paling amanku, tapi aku memberontak. ku hempaskan kedua tangan lembut yang membelengguku. dan berlari menuju tempat dimana bidadariku berlabuh. mom berlari menyusulku.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
seseorang seperti tertidur diatas rerumputan yang bergoyang. seseorang itu berjenis kelamin perempuan. dia berkepang dua. oh, tangan yang dipergunakannya untuk berdoa kala itu, terlihat lemas tak berdaya, dan beberapa kertas lipat berserakan di sampingnya. ini bidadariku, namun kenapa dia tertidur ditempat seperti ini? tiba-tiba mom menepukku dari belakang. sekilat kulihat wajahnya memucat pasi, nafasnya memburu, mulutnya berucap suatu kalimat yang pernah kudengar kala dad sudah pergi. apa maksutnya?

tanganku mengambang di udara, menepuk-nepuk kepala mom. aku ingin tau kenapa bidadariku bisa sampai tertidur disini, bukannya kita punya satu kasur tak terpakai? mom tetap tak mau menjawabku. mom cepat bangunkan dia! mom terduduk lemas, dan menangis. aku yang melihatnya, sepertinya mulai mengerti.


Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali. Alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua.  Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.” (Sapardi Djoko Damono; Perahu Kertas.)

0 comment:

Followers