Angin yang Membawaku Pergi #Part 2
Posted in novel
Matahari perlahan memancarkan cahayanya ke atap bumi.
Mengusir petang dari gelapnya malam. Sisa-sisa hujan tadi malam membuat
berbagai bentuk genangan air diatas aspal maupun diatas tanah. Ah, hari ini
waktunya aku sedikit menyantaikan pikiranku. Hari libur!
Aku masih berbaring di atas tempat tidur. Kakiku tak lagi
berada di dalam balutan selimut. Tak sengaja mataku memandang keluar jendela
kamar. Menerawang ke arah yang tak tentu. Aku teringat kejadian kemarin
disekolah. “Lee, Kevin, ternyata kalian saudara, haha” sejenak aku terdiam,
“sempitnya dunia ini” aku tertawa perlahan.
Tapi kenapa, jantungku terasa berdebar lebih cepat dari
biasanya? Memikirkan ini pun aku seperti sedang menahan nafasku.
“Dewi! Cepet ke sini!” tak salah lagi, itu suara ibu. Dengan
perasaan malas yang menggebu, aku beranjak dari ranjangku menuju sumber suara.
“kenapa bu?” aku menenggak air mineral dari dispenser ruang makan. “belikan ibu
bumbu dapur.” Wanita itu memberiku uang dua lembar sepuluh ribuan. “boleh kamu
ambil sisanya” beliau kembali sibuk di dalam dapur.
“tumben banget masak jam segini bu? Mau ada apa?” tanya ku.
“ada tetangga baru!” ibu sumringah. Tetangga? “siapa?” tanyaku
penasaran. Ibu semakin sibuk memotong sayuran ini itu. “kamu jadi beli ga?
Tanya mulu, cepet sana!” wanita itu melotot ke arahku. Ah, selalu saja.
Aku berjalan menyusuri banyak deretan toko kelontong dan
beberapa mini market. Mataku berkeliling, berharap menemukan penjual
barang-barang pesanan ibuku. Di jalanan ini sangat ramai, tak hanya
pedagang yang berdiam diri di toko
masing-masing, tapi adapula yang menggunakan gerobak dan sejenisnya. Para pedagang
saling bersaing dalam menggaet pembeli, menawarkan barang-barang mereka. Dan
aku adalah salah satu yang menjadi korban.
“dek beli ini aja, murah lho! Dan dijamin pasti susah rusak”
seorang pedagang mendekatiku. “yang ini aja dek, punya abang lebih terjamin!”
pedagang lain juga perlahan mendekatiku. Aku ketakutan, seketika aku perlahan
mundur. Namun, para pedagang itu juga semakin mendesakku.
Entah kenapa, aku seperti melihat Kevin diantara para
pedagang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Mataku mencari sosok itu, dan
hasilnya nihil. Tak sadar, pedagang yang menawarkan barang padaku semakin
banyak, aku mencoba menolaknya dengan baik-baik, tapi tak ada yang peduli.
Tiba-tiba seorang berkulit putih menghentikan mereka dengan berdiri
dihadapanku. Itu Lee.
“maaf pak, teman saya ini tidak mau beli barang dagangan
bapak!” dia membentak. “alah, kamu ini pergi aja sana! Adeknya mau lihat barang
daganganku!”sahut seorang pedagang. “dia
ga mau beli barang dagangan bapak! Mending sekarang bapak pergi atau saya bakal
teriak rampok?!” mendengar perkataan itu, semua lalat tadi menghilang.
“kamu ga papa?” Lee bertanya padaku. “nggak, makasih ya” aku
tersenyum simpul, lalu berjalan menjauh darinya. “eh tunggu! Boleh aku temani?”
dia berjalan sejajar denganku. “terserah kamu aja” . seiring waktu berputar,
akhirnya tugasku selesai juga. “sekali lagi makasih, aku pulang dulu.” Ucapku di
pinggir jalan dekat toko bunga. “secepat itu kah?” Lee mengajakku duduk di
kursi depan toko itu. Aku menurut.
“ada yang pengen aku omongin ke kamu” ucap Lee. Sekarang dia
lebih pintar berbicara dengan bahasa unformal. “Apa?” aku memandang jalanan.
“pertama kali aku ngeliat kamu, aku kayak bukan aku lagi.” Ia menarik nafas.
“dan pertama kali aku ngobrol sama kamu, aku ngerasa dunia udah jadi milik
aku.” Boleh jujur, aku belum mengerti sedikitpun maksud dari perkataannya.
“kamu tau kenapa?” aku menggeleng. “karena aku suka sama
kamu dari pertama ketemu” aku menatapnya dengan tatapan serius. Kamu
bercandakan? “ini tulus dari hati
aku” sambungnya.
“kamu jangan ngelindur ah, masa bisa suka sama aku” aku
menyenggol sikunya sembari tertawa hambar. “aku serius. Walaupun aku tau kalo
di usia SD ini masih terlalu kecil buat kita” aku membisu seribu bahasa. Apa-apaan
ini? Aku benar-benar jadi bingung!
Tiba-tiba angin berhembus teramat kencang, membuatku hampir
dibawanya. Tanpa aku berpikir apa-apa, aku segera pegi dari tempat itu.
***
Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku selalu saja menjauh
dari Lee. Aku tak tau harus berbuat apa lagi, karena perasaan yang campur aduk,
antara malu, dan tidak mengerti. Seperti apa itu suka. Sering sekali Lee
membantuku ini itu, dan aku hanya berterimakasih apa adanya. Tapi aneh, aku
selalu melihat sekelebat bayangan Kevin. Hanya beberapa detik aku melihatnya,
setelah itu dia hilang. Karena itu aku merasa Kevin juga menjauhiku. Dan aku
juga merasa dadaku perih.
Oh iya! Hari ini adalah hari yang benar-benar aku tunggu.
Hari ulang tahunku.
“Dewi, aku pengen ngomong” tiba-tiba saja Kevin menemuiku.
“apa?” ku tanggapi sembari membaca buku. “hari ini mungkin jadi hari terakhirku
di Indonesia” ucapnya lirih, hampir berbisik. “kau jangan bercanda” aku membuka
halaman berikutnya. “haha, emang bener aku ga boleh bercanda” mulut Kevin
mendekat ke telingaku. “Aku adalah angin yang akan selalu bersamamu, selamat
ulang tahun” belum sempat aku bertanya apa maksudnya, dia sudah berlari pergi. Angin
yang selalu bersamaku? Aku tertawa pelan.
***
0 comment: